Telepon pemain PSIM Nova Zaenal tiba-tiba berdering. Di layar ponsel, eks pemain Persis Solo itu terpampang nomor yang tidak dikenalnya.
Kapten PSIM itu langsung mengangkatnya. Alangkah terkejutnya Nova mendengar suara di ujung telepon. Pasalnya, suara di telepon itu mengaku salah satu manajemen Persepam Madura United dan menawarkan uang Rp500 juta kepadanya. Jumlah yang tidak sedikit tentunya bagi para pemain yang berlaga di kancah Divisi Utama.
Hanya, pemberian uang itu tidak gratis. Ada syaratnya, Nova dan empat pemain vital di PSIM lainnya diminta “menyerah” saat bertanding melawan Persepam Madura United.
Telepon yang diterima Nova itu terjadi sehari sebelum pertandingan antara PSIM melawan Persepam Madura United yang digelar di Stadion Manahan Solo.
Pertandingan itu menentukan bagi kedua tim karena memperebutkan tempat ketiga yang otomatis bisa langsung berlaga di Indonesia Super League musim depan.
“Tapi saya tidak menerimanya. Bahkan saya tantang dirinya untuk ketemuan, dia menolak,” akunya beberapa hari lalu.
Memang, begitulah kiranya modus yang kerap dipakai oleh pihak-pihak yang demi ambisinya mengorbankan etika sportivitas dalam sepak bola.
Selain itu, parahnya, acapkali para pemain menjadi korban. Pasalnya, sebelum para pemain belum memberikan jawaban atas tawaran tersebut, pihak yang menghubungi pemain itu sudah menyebarluaskan kabar bahwa dirinya telah berhasil menyuap pemain itu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, suap ke pemain sepak bola biasanya memanfaatkan ketidakharmonisan sebuah klub. Kondisi itu sama persis dengan PSIM saat akan berlaga di babak empat besar.
Saat itu situasi internal PSIM tengah berada dalam terpaan badai krisis finansial yang menyebabkan lebih dari tiga bulan para pemain serta perangkat tim mereka belum menerima gaji.
Ternyata, ketidakharmonisan itulah yang merupakan salah satu pemicu munculnya suap menyuap itu.
Setali tiga uang, kini nyaris tak ada satupun klub sepak bola profesional di Indonesia yang dinyatakan sehat 100%.
Itulah yang kemudian mengakibatkan suap menyuap seolah menjadi kelaziman di pesepakbolaan negeri ini.
Ketidakharmonisan di kalangan internal manajemen lah yang sebenarnya menjadi kunci terbukanya peluang suap.
Bagaimana tidak, jika kondisi manajemen tak solid, pemain pun seolah kehilangan induknya, tak memiliki proteksi terhadap masuknya pengaruh dari pihak luar.
Kasus suap di Indonesia cenderung tak memakai perantara.
Kalaupun tetap memakai perantara, yang bertugas untuk itu adalah dari pihak klub yang bermaksud menyuap dengan mengatasnamakan manajemen atau bahkan pemain.
Ketua Forum Pengprov PSSI Dwi Irianto mengatakan yang paling dirugikan dalam kasus suap adalah pemain sendiri.
Pasalnya, dengan berhembusnya kabar miring yang telah tersebar itu, nama baik pemainlah yang dipertaruhkan. “Kan kasihan juga pemainnya,” ujarnya Kamis (9/8).
Belum lagi, kepercayaan manajemen kepada pemain yang sontak luntur setelah mendengar kabar pemainnya telah ‘masuk angin’ (istilah untuk pemain yang telah kena suap). Jelas ini semakin memperkeruh suasana.
Dwi Irianto mengatakan, selama ini modus yang sering dilakukan adalah memanfaatkan kondisi tim yang tidak solid. Oleh sebab itu, sepanjang pengetahuannya, jarang terjadi negosiasi antara pihak penyuap dengan pemain secara langsung. “Karena semua ini memang hanya memanfaatkan kondisi tim yang tengah tidak solid saja,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan, satu-satunya solusi yang bisa diambil untuk menekan angka kasus penyuapan adalah pembenahan di tataran induk organisasinya, dalam hal ini adalah PSSI termasuk juga penegasan sanksinya.
Itulah, masyarakat kini memang hanya berharap kondisi ideal untuk sportivitas di Indonesia itu bukanlah hanya sebuah keniscayaan belaka. “Industri sepak bola jangan sampai dimaknai sedemikian sempitnya. Yang terpenting tetaplah sportivitas,” ujar Joko, salah satu suporter pecinta PSIM.
Sumber : Lihat Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar